Pages

Follow Us

22 November 2012

Polling dan Survey Sebagai Alat Kampanye


Masih Ingatkah anda pada Pilkada Gubernur DKI Putaran pertama yang mementahkan hasil Survey dari beberapa lembaga survey terkenal? Sebelum putaran pertama Pilkada Gubernur DKI banyak Pihak yang merilis hasil dari Lembaga-lembaga survey yang menunjukan keunggulan Gubernur DKI saat itu Fauzi Bowo, ternyata hasil Pilkada menunjukan sebaliknya bahwa Jokowi-ahok yang unggul.

Saat ini di salah satu harian populer di Timika mengadakan polling Kandidat Bupati Mimika untuk Pilkadabup 2013, polling tersebut diumumkan di halaman depan koran tersebut dan diupdate setiap hari senin. Saya tidak mengatakan ada yang salah dengan polling tersebut, namun banyak dari orang-orang yang saya jumpai dan saya ajak diskusi mengenai polling tersebut menyatakan keragu-raguan mereka akan keakuratan polling itu.

Cara polling itu sendiri cukup mudah, beli korannya, gunting form polling, isi dengan nama kandidat yang dijagokan kemudian kirim/antar langsung ke kantor harian tersebut. Pertanyaannya, apakah animo masyarakat cukup tinggi sehingga banyak sekali suara yang diperoleh kandidat-kandidat yang nangkring di urutan satu sampai sekian. Kalau tidak Salah sekitar 9.000.000 total suara yang ada sampai saat ini.

Dikutip dari Konsultan Politik.com, Mengapa hasil survei/polling bisa menjadi "aneh"? Jawabannya, paling tidak ada tiga modus, yaitu;

 Pertama, lembaga survei mempublikasikan hasil survei fiktif. Artinya lembaga survei sebenarnya tidak melakukan survei di lapangan. Mereka hanya mengumumkan hasil survei yang dibuat-buat saja. Hasil survei ini tentunya disesuaikan dengan kepentingan "si pembeli". Maksudnya jelas agar "si pembeli" mendapatkan point positif dari pemberitaan di media massa. Perbuatan ini biasanya banyak dilakukan oleh lembaga survei amatiran. Fenomenan ini banyak dilakukan oleh lembaga-lembaga survei di daerah. Lembaga survei amatiran adalah lembaga survei yang sengaja dibentuk hanya untuk mempublikasikan satu hasil survei, setelah itu bubar jalan. Fenomena ini sering kita lihat, ketika bebarapa lembaga survei mengatakan bahwa si "A" menang, tapi ada satu lembaga yang mengatakan si "B" menang. Nah lembaga yang sendirian mengatakan si "B" menang ini, biasanya adalah lembaga survei abal-abal.

Kedua, lembaga survei mempublikasikan hasil survei yang sudah direkayasa. Artinya disini lembaga survei membuat dua versi laporan hasil survei. Versi pertama adalah versi yang sebenarnya. Versi yang kedua adala versi yang sudah direkayasa sesuai dengan keinginan "si pembeli". Nah versi yang sudah direkayasa ini yang diedarkan di media massa. Versi ini tentunya versi yang sesuai dengan keinginan "si pembeli". Oleh sebab itu, jangan heran bila kadang hasil survei menjadi "agak aneh".

Ketiga, hasil "kebodohan" dari lembaga survei. Kebodohan yang saya maksud disini adalah ketidakpahaman lembaga survei dalam menentukan metodologi atau tema atau hal yang mana yang bisa diteliti dengan survei dan tema-tema mana yang tidak bisa. Medote yang salah, selain hasilnya tidak valid, hasil survei juga jadi ngaco tidak karuan. Selain kesalahan metode, lembaga survei juga banyak yang belum paham hal-hal aa yang bisa disurvei. Sebagai sebuah alat, tentunya tidak semua hal bisa disurvei. Misalnya, untuk mengetahui berapa kali seharuskan kita mandi dalam 1 hari, kita tidak usah melakukan survei sebab jawabanya sudah jelas. Contoh konyol lainnya: ada lembaga survei yang mengumumkan hasil survei bahwa citra di masyarakat Polisi lebih bersih dari KPK.

Demikian, semoga bermanfaat bagi pembaca sekalian.



Share this article now on :

Posting Komentar

:)) ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* :| 8-} :)] ~x( :-t b-( :-L x( :-p =))